Menilik Usaha Cipta Kualitas Udara Bersih di Indonesia
“Hari gini nggak bisa bawa motor?”
Pertanyaan bernada sumbang ini bukan satu dua kali saya terima. Setelah kalimat itu lantas disusul dengan kalimat lainnya. Mulai dari nada terkejut, bijaksana, hingga menyalahkan. Seolah menjadi seorang yang belum bisa mengendarai sepeda motor di zaman sekarang adalah sebuah dosa besar.
Hampir lima tahun menyelesaikan pendidikan di Kota Medan, ditambah rezeki menjadi ibu asrama di sebuah sekolah tinggi, membuat saya memang berada di zona nyaman dalam urusan berkendara. Siapkan isi dompet, tahu nomor kendaraan, stop di pinggir jalan. Sesederhana itu.
Siapa sangka bertahun kemudian, saya menghadapi kondisi daerah tempat kerja yang tidak ramah bagi penumpang seperti saya. Kendaraan umum yang hanya tersedia pada jam tertentu. Padahal jam kerja saya tidak selalu bisa mengikuti jam operasional kendaraan umum tersebut. Solusi jika saya harus pulang lebih larut, tentu saja dengan meminta jemputan dari adik saya.
Kondisi ini malah merepotkan, bukan? Jadi, kesimpulan saya, keadaaan yang dihadapi seorang pejalan kaki di daerah yang kendaraan umumnya terbatas sangat miris jika tidak dapat mengendarai sepeda motor.
Soal peduli lingkungan tak lagi terlalu dipertimbangkan karena masing-masing orang berpacu dengan waktu demi memperoleh kenyamanan.
Ancaman Ketersediaan Udara Bersih di Kota Besar Indonesia
Berdasarkan informasi sarat ilmu yang didapatkan dari Diskusi Publik “Sinergitas Sektor Transportasi dan Sektor Energi untuk Mewujudkan Kualitas Udara Bersih di Kota Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Bali, Medan, dan Makassar” yang saya saksikan dalam tayangan live YouTube 23 November 2023 lalu, ternyata faktor transportasi ini disebut menjadi yang paling dominan pengaruhnya terhadap kualitas udara yang buruk di kota-kota besar di Indonesia bahkan di Kota Jakarta juga.
Bapak Tulus Abadi, selaku Pengurus Harian YLKI, mengatakan bahwa, Indonesia menuju net zero emission. Sektor transportasi memang berkontribusi terhadap peningkatan gas rumah kaca. Mirisnya, angka pembelian kendaraan pribadi sangat tinggi. Bisa dibayangkan bawa emisi yang dihasilkan oleh kendaraan ini benar-benar menyakiti bumi.
Solusi bijak untuk mengatasi keadaan ini adalah mendorong masyarakat umum untuk mau naik kendaran umum.
Untuk itu pemerintah daerah harus mampu memenuhi hal ini dalam salah satu program kerjanya. Jika ini benar terlaksana, sampai hari ini pengguna fasilitas jalan raya nggak akan dipandang sebelah mata hanya karena belum bisa mengendarai sepeda motor.
Bahkan dalam sebuah kasus pemerintah daerah dinyatakan bersalah karena kualitas udara yang semakin buruk. Sekali lagi dinyatakan bahwa masalah pengelolaan kendaraan umum di daerah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah bekerja sama dengan pemerintah pusat.
Bahan Bakar Kendaraan Indonesia, Sudahkah Digunakan Sesuai Peraturan?
Narasumber kedua, Bapak Ahmad Safrudin – Ketua Komite Penghapusan Bahan Bakar Bertimbal (KPBB) menyatakan bahwa sejak 2006 penggunaan bahan bakar bertimbal sudah dihapus. Eits, jangan senang dulu karena tantangan sekarang adalah BBM dengan kadar belerang yang sangat tinggi, kadar benzene, kadar aromatik, dan olefin.
Semua bahan yang terkandung dalam BBM tersebut belumlah sesuai dengan World Wide Fuel Charter atau piagam dunia tentang bahan bakar. Benzene seharusnya berada di 1%, tetapi kenyataan di lapangan masih 5%, kadar belerang seharusnya menerapkan standar Euro 4 dengan maksimum 50 ppm. Sayang sekali pertamina masih memproduksi BBM dengan kadar belerang > 1800 ppm.
Hal ini menambah buruknya kualitas udara di Indonesia, terutama di kota-kota besar.
Masih menurut Bapak Ahmad Safrudin, penggunaan bahan bakar di Indonesia ternyata saat ini belum layak bagi kendaraan. Hanya Pertamax Turbo yang memenuhi syarat sesuai dengan standar Euro 4.
Masing-masing kendaraan memiliki bahan bakarnya sendiri sesuai dengan standarnya. Saat ini pemerintah sudah mengadopsi standar Euro 4. Harusnya semua kendaraan mengikuti ini. Namun nyatanya tidak yang tentu saja bisa berdampak tidak baik bagi lingkungan. Semakin kotorlah udara kita saat ini.
Untuk memfasilitasi masyarakat agar mampu membeli Pertamax Turbo harus ada kebijakan harga yang pastinya ini membutuhkan dukungan pemerintah.
Bapak Tulus Abadi - Pengurus Harian YLKI kembali menyampaikan bahwa pemilik kendaraan bermotor cenderung menggunakan bahan bakar yang murah bukan yang kompatibel dengan kendaraan yang dimiliki.
Harga yang murah untuk penghematan. Padahal kandungan kalori yang terkandung dalam bahan bakar tersebut berbeda dan hal ini bisa mempengaruhi waktu yang bisa digunakan saat berkendara sebelum pengisian berikutnya.
Penutup
Untuk mewujudkan kualitas udara yang bersih hanya akan menjadi impian jika tidak menjadi fokus kerja sama semua pihak.
Sebagai individu yang ingin turut peduli pada keberlangsungan udara bersih bumi, bisa dengan melakukan langkah kecil seperti lebih memilih naik angkutan umum dan menggunakan bahan bakar sesuai standar Euro 4.
Bagaimana pandangan sahabat terhadap isu ini? Yuk, berbagi di kolom komentar! (*)