Gaung Semangat dari Balik Sekat Penampungan
Gaung Semangat Penanggulangan Bencana Inklusif Bagi OYPMK dan Penyandang
Disabilitas
- Kerap dipandang sebelah mata dan dihindari karena takut menulari itulah yang
dirasakan oleh OYPMK (orang yang pernah mengalami kusta). Miris, karena hal
ini tak seharusnya terjadi jika masyarakat, termasuk kita telah teredukasi.
Beruntung, pada Selasa, 29 November 2022 kemarin, saya dan beberapa teman
blogger berkesempatan mengikuti #RuangPublikKBR yang digelar melalui channel
Youtube Berita KBR.
Berlangsung selama kurang lebih satu jam, kami mendapatkan banyak pengetahuan
baru tentang penanggulangan bencana inklusif bagi OYPMK dan penyandang
disabilitas.
Omong-omong, sebenarnya saya sudah antusias mengikuti webinar bernada seperti
ini.
Apa daya, acara yang berlangsung pada jam dinas tersebut membuat saya harus
membagi waktu dan perhatian antara webinar dan pekerjaan
Alhamdulillah, pada 29 November kemarin saya sedang off dinas, sehingga
tak mengulur waktu untuk mendaftar sebagai peserta hingga akhirnya terpilih
menjadi satu diantara 24 teman blogger lainnya.
Kembali pada rangkaian kegiatan webinar. Sebagai pembuka, Rizal Wijaya selaku
moderator mempersilakan Mas Bejo Riyanto, selaku ketua konsorsium peduli
disabilitas dan kusta (pelita) terdampak bencana.
Dr. Pangarso Suryotomo selaku Direktur Direktorat Kesiapsiagaan BNPB yang
akrab dipanggil Pak Papang mengatakan sejak Januari hingga November 2022 telah
terjadi 3000-an kejadian se-Indonesia. Dari angka tersebut, bencana yang
mayoritas terjadi berasal dari faktor alam, yakni karena disebabkan cuaca
ekstrem, tanah longsor, gelombang abrasi dan lain sebagainya.
Menjadi 10 besar dari negara dengan angka kematian tertinggi karena bencana
alam menuntut kita bahu membahu berupaya dengan mempersiapkan kesiapsiagaan
terhadap segala kemungkinan.
Dalam masa tanggap darurat yang diputuskan selama 30 hari ini, BNPB tentu
tidak dapat bekerja sendiri, mereka memerlukan gerak bersama dari seluruh
lapisan elemen, yakni pemerintah pusat, daerah, insinyur, relawan sehingga
permasalahan yang terjadi bisa ditangani bersama secepat dan setepatnya.
Selanjutnya, Mas Bejo Riyanto yang punya nama panggung Mas Bejo Joss ini
mengemukakan tentang pengetahuan tentang kebencanaan masyarakat awam yang
masih sangat minim, sehingga pada saat bencana yang terjadi adalah kepanikan.
Misalnya, saat terjadi bencana gempa di Jogja beberapa waktu silam, Mas Bejo
memutuskan lari dari rumah. Alih-alih terhindar dari dampak bencana, Mas Bejo
malah terlempar keluar rumah.
Edukasi Mitigasi Sosialisasi kepada Masyarakat, OYPMK, dan Penyandang Disabilitas
Menurut Pak Papang, saat bencana terjadi, tentu ia tak akan memilih siapa yang
terdampak, bisa terjadi pada siapa saja, termasuk OYPMK dan penyandang
disabilitas. Masyarakat sebaiknya mengenali ancaman bencana apa yang bisa
terjadi di wilayahnya. Bencana terjadi dan dampaknya bisa meluas manakala
masyarakat tidak mengenal dan tidak siap.
Penanganan bencana memiliki porsi yang sama, termasuk pada penyandang
disabilitas. Namun sejak 2014, terbitlah peraturan No 14 tahun 2014 tentang
bahwa disabilitas memiliki tiga mandat, yakni pertolongan, partisipasi, dan
perlindungan.
Pertolongan
Penyandang disabilitas diberikan pertolongan prioritas ketika bencana terjadi
Partisipasi
Penyandang disabilitas juga memiliki kemampuan sehingga menuntut hak sebagai
subjek bukan objek.
Perlindungan
Saat bencana terjadi akan timbul disabilitas baru. Maka penyandang disabilitas
bisa memberikan perlindungan kepada dirinya sendiri serta melihat siapa yang
akan menjadi disabilitas baru.
Konsorsium Peduli Disabilitas dan Kusta (PELITA)
Berdiri pada 2016 menjadi wadah bagi organisasi yang peduli terhadap OYPMK dan
penyandang disabilitas. Himpunan yang berdiri setelah bencana terjadi ini
fokus pada hilangnya stigma kusta yang melekat selama ini.
Masih menurut Mas Bejo, penyandang daksa tangan dan kaki sejak lahir,
disabilitas yang terkena fisik dan mental bisa diterima di dalam masyarakat
dan bisa ditampung di satu tempat. Berbeda dengan OYPMK yang masih memiliki
stigma kuat sehingga mendapatkan perlakuan diskriminasi di lokasi penampungan
bencana.
Menanggapi satu pertanyaan peserta, Mas Bejo yang memproduksi kaos ini,
mengatakan pengurangan risiko bencana bisa didapatkan melalui edukasi yang
bisa diakses di komunitas, organisasi dan relawan
Mitigasi bencana pada OYPMK dan penyandang disabilitas adalah dengan membentuk
suatu wadah di tiap daerah, contohnya LIDi (Unit Layanan Inklusi Disabilitas)
di Jawa Tengah. Wadah ini terbentuk dari penyandang disabilitas itu sendiri
yang memiliki kemampuan menjadi mentor di kalangan intern.
Pak Papang mengatakan bahwa setelah sosialisasi dilakukan maka selanjutnya
masyarakat yang bisa melakukan tindakan penyelamatan adalah diri sendiri,
keluarga dan lingkungan. Sejak tahun 2011, BNPB telah menginisiasi pembentukan
Desa Tangguh Bencana. Di sini ada relawan dan forum pengurangan risiko tingkat
desa. Desa Tangguh Bencana adalah model yang bisa diadopsi oleh semua pihak.
Di tingkat pendidikan, edukasi mitigasi bencana juga telah dimasukkan ke dalam
kurikulum sehingga terbentuklah SPAB (Sekolah Pendidikan Aman Bencana).
Tentang SOP penanggulangan bencana ternyata sudah ada di aplikasi ponsel yang
disebut inaRISK Personal (aplikasi yang berisikan informasi tingkat bahaya
suatu wilayah dan dilengkapi dengan rekomendasi aksi untuk melakukan
antisipasinya secara partisipatif). Di aplikasi ini bisa didapatkan banyak
informasi tentang bencana. Ini adalah salah satu bentuk edukasi kekinian yang
diharapkan bisa menyentuh banyak persona.
Sebagai penutup, Mas Bejo menyampaikan harapan kepada pemerintah memperhatikan
kapasitas OYPMK dan penyandang disabilitas, sehingga tidak lagi malu terhadap
keterlibatan kesiapsiagaan. Tentang isu kusta juga bagaimana agar ke depannya
tidak ada pemisahan terhadap OYPMK di lokasi penampungan. Juga tentang data
agar pemetaan tepat dan data valid didapatkan.
Mari kita gaungkan terus semangat kesiapsiagaan bencana!