Dari Balik Pintu ICU, Kisah di Musim Covid-19
WHO baru saja merilis keterangan barunya terkait dengan fakta bahwa Covid-19 bisa menular melalui udara (air bone).
Penyataan yang dipublikasikan pada 9 Juli 2020 ini sontak membuat kami dihinggapi rasa was-was yang lebih dari biasa. Saat ini kami bertugas di ruang ICU (Intensive Care Unit) sebuah RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah). Ruangan tersebut hanya cukup memuat tiga tempat tidur pasien. Tentu bisa dibayangkan berapa luasnya ruangan tersebut. Ditambah, jarak antara meja perawat (station nurse) dan tempat tidur pasien tak lebih dari satu meter saja.
Hari-hari kami dipenuhi rasa was-was tersebut. Setiap ada pasien yang akan masuk dari IGD (Instalasi Gawat Darurat) ataupun pindah ruangan dari ruang VIP (Very Important Person) atau Internis (Penyakit dalam), kami pasti langsung menanyakan status pemeriksaan rapid test Covid-19.
Rasa kemanusiaan tentu selalu berharap setiap pasien yang keluar dari pintu ruang ICU itu dalam keadaan membaik. Namun sebagai manusia, rasa was-was yang kerap menghampiri menyebabkan ruangan itu tak seperti sebelumnya. Tak ada lagi cerita berlama-lama tentang latar belakang keluarga pasien. Kami hanya bertanya seperlunya, terkait riwayat penyakit.
Sebagai salah satu RSUD yang berada di sebuah kotamadya, kami mendapatkan bantuan APD (Alat Pelindung Diri) termasuk lebih lama dibandingkan fasilitas pelayanan kesehatan di pusat. Di masa awal, kepala ruangan kami membelikan 14 set jas hujan sebagai APD. Jas hujan itu tak lebih tebal dari plastik pembungkus makanan dari warung. Di rumah sakit hanya tersedia masker, sarung tangan dan penutup kepala (surgion cap).
Barulah kemudian bantuan berdatangan. Baju hazmat, face shield, kacamata google, dan sepatu boat. Masing-masing petugas ruangan mendapat jatah satu. Akhirnya, APD yang terbuat dari plastik tadi berubah fungsi. Kami menggunakannya sebagai APD dari hujan. Ketika melihat jas yang berwarna biru itu, orang-orang sekitar rumah sakit akan langsung mengenali kalau itu adalah petugas ruang ICU.
Kehadiran bantuan tak lantas membuat rasa was-was itu sirna. Pemakaian APD malah membuat langkah agak sedikit berat, ya mungkin karena masih berada dalam tahap adaptasi.
Saat memasang infus, misalnya, face shield yang terbuat dari plastik mika itu akan berembun sehingga malah menghalangi pandangan. Pembuluh darah yang menjadi sasaran, menjadi samar bahkan tidak terlihat. Akhirnya, seringkali face shield tergeletak begitu saja.
Suatu ketika, seorang pasien masuk. Pasien tersebut terakhir dilakukan rapid tes Covid-19 tiga hari yang lalu dengan hasil negatif. Ketika ingin dilakukan pemeriksaan radiologi, ternyata alatnya sedang rusak.
Oleh karena pasien tersebut menunjukkan gejala Covid-19, kami melakukan rapid tes Covid-19 ulang setelah berkoordinasi dengan dokter spesialis. Hasilnya, positif! Pasien tersebut langsung dipindahkan ke ruang isolasi.
Untungnya perawat yang bertugas pada saat itu memakai APD lengkap. Meski begitu, isolasi mandiri empat belas hari tetap diberlakukan.
Inilah sebagian kecil suka duka pelayan kesehatan di masa pandemi. Tak ada istilah WFH (Work From Home). Bekerja sif tetap berlaku.
Bekerja dengan hati tulus, jaga kualitas imun dan tingkatkan iman kiranya adalah tiga hal yang selalu kami ucapkan di sela-sela bertugas untuk saling menyemangati. (*)