Raya Sayang Mama dimuat di Harian Analisa Medan

Cerpen Anak Raya Sayang Mama dimuat di Harian Analisa Medan edisi Minggu, 21 Desember 2014

dimuat di analisa medan

Raya Sayang Mama
Oleh: Karunia Sylviany Sambas

“Huaaa ... aku telat!” Raya langsung turun dari atas tempat tidurnya. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 06.45 WIB. Setelah mengambil handuk, ia langsung bergegas menuju kamar mandi. Sekolah akan dimulai pukul 07.30 WIB. Hari ini tidak ada yang mengantar. Bang Rama sedang ada tugas kuliah ke luar kota.

Setelah mandi dan berpakaian rapi, gadis kecil itu segera menuju ruang makan. Ia langsung menyambar sepotong roti dan segelas teh manis yang telah dingin.
“Mama! Raya telat. Gimana ini?” Raya berteriak hingga mengejutkan mama yang sedang mencuci piring. “Mama kok nggak bangunin Raya, sih?”

“Mama tadi ngantar kue ke warung Bi Munah. Sebelumnya, mama udah ketuk kamar Raya tapi nggak ada jawaban. Raya kunci pintunya, kan?” Mama menoleh ke arah Raya yang masih cemberut.

“Raya, nggak boleh cemberut begitu. Ayo, mana senyumnya? Mama mau lihat.” Mama mendekati Raya dan mengelus rambut putri kesayangannya.

Raya diam saja. Ia masih kesal.

Setelah menghabiskan roti dan teh, ia menyambar tas dan langsung pergi tanpa menyalami tangan mama. Mama yang melihat tingkah putri semata wayangnya hanya geleng-geleng kepala.

Pukul 07.20 WIB Raya tiba di kelas.

“Syukurlah, aku belum terlambat,” ucapnya lirih.

Raya masih cemberut. Linda, teman akrabnya, menyapa sambil memperlihatkan kuciran barunya.

“Lihat, mama aku yang buat nih. Cantik, kan?” Raya melirik ke arah Linda.

“Ya, cantik. Mama kamu baik ya. Masih sempat mengucir rambut pagi-pagi. Kalau mamaku sibuk terus. Mana sempat mengucir rambutku.”

Linda mendekati Raya. Seingatnya, selama berteman dengan Raya dari kelas 1 hingga kelas 2 ini, belum pernah temannya itu mengeluh tentang mamanya.

“Mamamu pasti nggak bermaksud seperti itu, Raya. Semua mama pasti berbuat yang terbaik untuk anaknya.” Linda duduk di samping Raya.

“Bicaramu kayak orangtua aja!” ucap Raya ketus.

“Kak Amila yang bilang gitu. Waktu aku sakit kemarin dan nggak ada mama yang nemenin aku di rumah sakit, aku juga marah. Aku kira mama nggak peduli sama aku. Terus Kak Amila bilang, mama lagi buat kue untuk ngerayain ultahku. Hmm, aku salah udah nilai mama kayak gitu.”

Raya terdiam.

“Apa iya yang dibilang Kak Amila?” Raya agak ragu.

Sejenak kemudian ia mulai mengingat-ingat kejadian tadi pagi. Mama memang selalu sibuk. Sejak papa meninggal satu tahun lalu, Mama membuka usaha menjual kue-kue. Dagangan mama laris manis. Setiap hari mama bangun lebih awal dan tidur pun larut malam. Mama pasti lelah.

Tak terasa air mata Raya menitik.

“Loh, Raya kok nangis?” Linda bingung.

“Aku ... aku ngerasa bersalah sama mama. Padahal tadi pagi mama udah bangunin aku kok. Aku aja yang kelewat ngantuk jadi nggak dengar. Salahku juga, baca komik sampai lupa waktu. Habis salat subuh, aku tidur lagi.” Raya terlihat menyesal.

“Mamamu pasti paham kok.” Linda tersenyum.

“Tadi pagi aku juga sengaja nggak salaman sama mama,” tambah Raya. “Apa mama masih mau maafin aku?”

“Pasti itu Raya! Mama itu bidadari surga yang tinggal di dunia. Kasih sayangnya nggak akan pernah habis untuk kita, anak-anaknya.”

“Kak Amila yang bilang?” celetuk Raya.

‘‘Kalo itu, aku dengar dari Bu Ustazah yang ceramah di televisi!”

Raya tersenyum.

“Kamu pintar, Lin. Terima kasih, ya.”

Raya menghapus air matanya. Gadis kecil itu tak sabar menanti bel pulang sekolah berbunyi.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url